Paspor Indonesia: Lemah dan Tak Berdaya
Pasal 13 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara. Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya.”
Ada banyak tafsiran mengenai pasal ini. Bagi beberapa orang yang cukup ekstrem, pemberlakuan eksistensi paspor dan visa saat memasuki sebuah negara dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia mengacu pada pasal ini. Namun saya masih belum menapak di spektrum tersebut, tenang saja. Pembahasan tentang ini juga lain kali saja. Kali ini saya mau membahas tentang paspor Indonesia yang menurut saya, sangat lemah untuk ukuran negara kita yang luar biasa.
Sejarah paspor sendiri bisa dilacak hingga zaman kuno. Sebagai orang Kristen, saya membaca kisah menarik mengenai Nehemia yang meminta izin dari Raja Artahsasta I dari Persia untuk bepergian ke Yudea, yang menyertakan surat izin untuk perjalanan aman. Kisah ini ada referensinya dalam Kitab Nehemia. Surat izin tersebut lama-kelamaan berkembang menjadi apa yang kita kenal sebagai paspor.
Paspor sendiri berfungsi sebagai dokumen yang memfasilitasi perjalanan internasional dan memastikan pengenalan serta perlindungan bagi pemegangnya saat berada di luar negeri. Singkatnya, paspor adalah KTP kita di luar wilayah Republik Indonesia.
Nah, kembali lagi ke paspor Indonesia. Pada tahun 2024, paspor Indonesia menempati peringkat ke-98 di dunia dalam hal kebebasan perjalanan. Kita dapat bepergian ke 45 negara tanpa visa, 21 negara dengan visa saat kedatangan, dan 40 negara dengan visa elektronik. Sisanya, sekitar 132 negara lainnya, kita perlu visa yang pengurusannya terkadang sangat menguras waktu dan energi.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia, bahkan Timor Leste, kita masih kalah. Bayangkan betapa sesaknya dada ini saat melihat wisatawan Malaysia dapat memasuki wilayah Schengen di Eropa seperti Jerman, Belanda, Prancis, dll tanpa perlu mengurus dokumen visa yang ribetnya minta ampun.
Mengacu pada pasal 13 DUHAM, apakah manusia Indonesia masih dapat dibilang hak asasinya terpenuhi dengan baik? Tidak apa-apa, biarkan itu menjadi diskusi di lain hari. Namun yang pasti, mesin diplomasi kita belum bekerja dengan efektif. Rasanya tak adil di mana kita mengizinkan wisatawan asing masuk ke Indonesia dengan mudah melalui pertimbangan pertumbuhan devisa negara dan kemajuan pariwisata.
Pahit rasanya melihat aspirasi anak muda di negara-negara dengan paspor yang digdaya dapat melemparkan mimpinya dengan mudah, “Saya ingin menjelajahi dunia!” Sementara kita harus berjibaku dengan kusutnya birokrasi pembuatan dokumen visa yang bahkan kita tidak tahu apakah diloloskan atau tidak.
In the meantime, sisi positifnya, kita bisa menggunakan waktu yang terbatas ini untuk lebih fokus ke Indonesia, alih-alih menjelajahi dunia. (coping mechanism)